Sabtu, 30 Oktober 2010

Cabang iman ke 1 - 5


Postingan ke-2


Melanjutkan postingan lalu yang berisi terjemahan kitab Qomi’uththughian, bait selanjutnya adalah bait pertama yang diambil dari syu'abul iman karya syeh Zainuddin, beliau berkata :

{Iman kita ada 77 cabang * Jumlah yang benar-benar telah disempurnakan oleh ahli keutamaan yang agung }

Maksudnya, ssesungguhnya karakter cabang-cabang iman itu ada 77, sebagaimana sabda Nabi SAW : “Iman mempunyai lebih dari 70 cabang. Adapun cabang yang pertama adalah ucapan Laa ilaaha illallaah dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan bahaya dari jalan, dan malu merupakan cabang dari iman”. Riwayat para ahli hadist.

{ Berimanlah kepada tuhanmu, para malaikat, kitab-kitab * para nabi dan hari dimana seluruh alam musnah }

Syeh Zainuddin di dalam bait ini menjelaskan 5 cabang iman.

- Cabang pertama adalah iman bahwa sesunguhnya Allah itu satu, tiada sekutu bagi-Nya, tunggal tiada serupa bagi-Nya, yan dibutuhkan oleh seluruh mahluk, tiada bandingan bagi-Nya, azali, berdiri (qoimun), selamanya (abadiyun), kekal (daimun), tiada permulaan bagi wujud-Nya dan tiada akhir bagi keabadian-Nya, berdiri tegap yang tidak akan terlenyapkan oleh keabadian, dan tidak terubahkan oleh masa, bahkan Dia yang pertama, yang akhir, yang jelas, yang samat, tersucikan dari sifat-sifat jismiyah, tiada sesutupun yang menyerupai-Nya.

- Cabang yang ke-2 adalah iman kepada para malaikat, dengan membenarkan keadaanya, bahwa sesungguhnya para para malaikat adalah hamba yang dimuliakan, yang tidak membangkang kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka, dan mereka melakukan semua yang diperintahkan. Meraka adalah jisim-jisim yang lembut, yang mempunyai ruh. Allah menjadikan bagi mereka kemampuan untuk merubah bentuk yang berbeda-beda lagi indah/bagus.

- Cabang yang ke-3 adalah iman dengan kitab-kitab suci, dengan membenarkan bahwa kitab-kitab suci yang telah Allah turunkan kepada para nabi-Nya adalah wahyu dari Alllah, yang isinya meliputi segala berbagai macam hukum-hukum dan kabar-kabar-Nya.

- Cabang iman yang ke4 adalah mengimani bahwa para nabi itu adalah orang-orang yang benar dalam menyampaikan berita yang mereka terima dari Allah. Bahwa diantara para nabi, ada yang diutus untuk memberkan hidayah (petunjuk) kepada mahluk dan menyempurnakan kehidupan mereka, baik di dunia dan di akherat. Dan Allah memperkuat mereka dengan mukjizat sebagai bukti atas kebesaran mereka, maka mereka sampaikan risalah Allah dan mereka jelaskan pula kepada semua orang mukallaf( yang telah terkena kewajiban untuk menjalankan perintah agama) segala apa yang Allah perintahkan untuk dijelaskan.

- Cabang iman yang ke-5 adalah iman terhadap hancurnya/ musnahnya alam dunia, baik dunia atas maupun dunia bawah, dan iman terhaddengan hari akhir, seperti pembalasan, hisab/ perhitungan, mizan/ pertimbangan amal, shiroth/ jembatan, surga dan neraka.

Jumat, 29 Oktober 2010

Foto bersama dengan Abuyya KH. Shollahuddin

QOMI’UTHTHUGHYAAN ‘ALAA MANZHUMATI SYU’ABIL IIMAAN

Judul di atas merupakan sebuah kitab yang disusun oleh seorang yang ‘alim yang berasal dari indonesia, yaitu Syeh Muhammad Nawawi bin Umar al Banteni. Beliau banyak menyusun kitab-kitab islami, salah satunya kitab ini yang merupakan syarah dari kitab Sya’abul Iman karya Syeh Zainuddin bin Ali bin Ahmad Asysyafi’iy Alkusyniy Almalibariy. Kitab ini berisi tentang penjelasan cabang-cabang iman yang wajib diimani oleh sekalian umat muslim. Di dalam kitab ini berisi 26 bait oleh syeh Zainuddin dan ditambah 3 bait di awal oleh syeh Nawawi, serta satu bait di akhir oleh Syeh Abdul Mun’im sehingga jumlah baitnya ada 30 bait.
Aku menganggap penting kitab ini karena menurutku yang masih awam tentang keimanan, yang baru mengetahui rukun iman yang 6. Sangat penting diketahui oleh setiap muslim, karena dengan iman inilah seseorang dapat masuk ke surganya Allah, dan dengan iman inilah kebaikan seseorang dinilai dan diberikan pahala ganjaran. Aku coba mengetik dari buku terjemahan yang aku punya, yang diterjemahkan olah Team Penerjemah Pustaka Mampir, sambil sedikit-sedikit mamahami, sambil menyelam minum air kata sebuah pepatah. Aku coba juga untuk membagikan ketikan ini ke blog ku supaya orang lain pun dapat mengambil manfaatnya. Selain memiiki terjemahnya, aku juga masih mengkaji kitab ini di majlis ta’lim Alhuda kepada KH. Endang Iskandar setiap malam jum’at yang diselingi oleh beberapa kitab lainnya. Aku coba sajikan dengan 3 bait pertama dulu ya,

{Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan * iman seseorang bercabang-cabang, lalu disempurnakan}

Yakni aku memulai pernyataanku (syeh Nawawi) dengan pujian, yang berkeyakinan bahwa setiap pujian hanya untuk Allah. Maksud dari bait ini adalah bahwa sesungguhnya praktek-praktek iman itu mempunyai bagian dan karakter. Bagian dan karakter iman itu bisa menambah perbuatan-perbuatan baik manusia dengan melakukannya, dan bisa menguranginya dengan meninggalkannya. Adapun dasar iman yaitu Attashdiq (membenarkan), tidak dapat berkurang. Karena jika berkurang, maka iman menjadi sebuah keraguan, padahal tidak sah iman disertai keraguan.

{Risalah ini berisi bait-bait yang berasal dari kitab Alkusyini * yakni orang yang mengucapkan, setelah kami bersholawat dan mengucapkan salam}

{Untuk Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya * selama masih beredar matahari dan bintang di angkasa}

Yakni bait-bait risalah kitab syarah ini diambil dari kitab Syeh Zainuddin bin Ali bin Ahmad asy Syafi’i al Kusyiniy al Fanani al Maribari, oleh karena itu hitungan yang ada di dalam bait tersebut sama seperti yang ada di dalam natsrnya (bentuk prosanya).
Yakni pemilik risalah ini dilahirkan di Kusyin, sebuah kota di Malibar, setelah terbit matahari di hari Kamis, tanggal 12 bulan Sya’ban tahun 872H. Beliau dibawa pindah oleh pamannya Qodhi Zainuddin bin Ahmad ke Fanan, sewaktu beliau masih kecil. Syek Zaiuddin memiliki karya yang begitu banyak, seperti kitab Hidayatul Adzkiya, Tuhfatul Ahya dan Irsyadul Qosyidin fi Ikhtishori Minhajil Abidin li Ghozali.

Kamis, 02 September 2010

Memburu malam lailatul qodar

Lailatul Qadar adalah malam yang agung di antara sekian malam di bulan suci Ramadhan. Tidak disebutkan kapankah malam itu terjadi.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadr 97: 1-5)

Paling tidak ada tiga keutamaan yang digambarkan dalam ayat tersebut. Pertama, orang yang beribadah pada malam itu bagaikan beribadah selama 1000 bulan, 83 tahun empat bulan. Diriwayatkan, ini menjadi penggembira umat Nabi Muhammad SAW yang berumur lebih pendek dibanding umat nabi-nabi terdahulu. Kedua, para malaikat pun turun ke bumi, mengucapakan salam kesejahteraan kepada orang-orang yang beriman. Dan ketiga, malam itu penuh keberkahan hingga terbit fajar.

Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: “Siapa beribadah di malam Lailatul Qadar dengan rasa iman dan mengharap pahala dari Allah, ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.”

Diriwayatkan dari Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang Lailatul Qadar, lalu beliau menjawab, “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan.” Riwayat Imam Bukhari, dari A’isyah, Nabi Muhamamd SAW bersabda: “Carilah lailatul qadar itu pada malam ganjil dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan.”

Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadar itu terjadi pada 17 Ramadlan, 21 Ramadlan, 24 Ramadlan, malam ganjil pada 10 akhir Ramadlan dan lain-lain. Jadi, tidak ditemukan keterangan yang menunjukkan tanggal kepastiannya.

Diantara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar adalah untuk memotivasi umat agar terus beribadah, mencari rahmat dan ridla Allah SWT kapan saja dan dimana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari saja. Jika malam Lailatul Qadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, maka orang akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal itu saja dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat.

Namun ada banyak penjelasan mengenai tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar itu. Diantara tanda-tandanya adalah:

1. Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Muslim.2. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasakan riwayat Imam Ahmad.

Dalam Mu’jam at-Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Malam lailatul qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.”

Nah, agar mendapatkan keutamaan lailatul qadar, maka hendaknya memperbanyak ibadah selama bulan Ramadlan, diantaranya, senatiasa mengerjakan shalat fardhu lima waktu secara berjama’ah, mendirikan qiyamul lail (shalat tarawih, tahajjud, dll), membaca Al-Qur’an (tadarrus) sebanyak-banyaknya dengan tartil (pelan-pelan dan membenarkan bacaan tajwidnya), memperbanyak dzikir, istighfar dan berdo’a.

Pendapat yang lebih umum, Lailatul Qadar jatuh pada tanggal 27 setiap Ramadhan. Para ulama Makkah mengkhatamkan Al-Qur’an bersamaan dengan shalat Tarawih di malam ke 27. Pada saat itulah di sana orang-orang bersemangat menjalankan ibadah shalat Tarawih, juga shalat-shalat Sunnah yang lain, seperti Tahajjud, Witir, dan ibadah sosial seperti memberi makan orang miskin, memberi buka kepada yang berpuasa, sedekah ini sedekah itu, dan lain sebagainya.

Hadits riwayat Ahmad dengan sanad shahih, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Siapa mencari malam Lailatul Qadar, carilah di hari ke 27.” Di Indonesia, oleh para jamaah thareqat mu’tabarah menjadikan malam 27 ini sebagai malam paling istimewa untuk berbaiat, berdzikir, istighatsah dan berziarah kubur. Umum dikenal istilah “malam pitulikuran” sebagai malam paling istimewa.

Menjadi Awalan

Sejatinya amal ibadah apapun kita lakukan semata-mata karena Allah SWT, hanya karena Allah. Tidak berharap apapun. Tidak berharap pujian dari sesama manusia. Tidak berharap agar dikaruniakan keberkahan di dalam setiap langkah kehidupan kita. Bahkan, pada tingkatan yang lebih tinggi, tidak berharap pahala bagi kebahagiaan akhirat. Karena manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, menyembah-Nya.

Namun, manusia adalah manusia: sering menjadi manja, selalu menuntut lebih, selalu berharap balasan, tidak akan melakukan sesuatu ibadah apabila tidak mendapat iming-iming pahala, kebaikan, dan keberkahan yang luar biasa dari Sang Pencipta.

Sebagai contoh adalah betapa paniknya kita ketika bulan Ramadhan tiba. Kita bebondong-bondong melakukan ibadah karena ada iming-iming pahala besar jika kita rajin beribadah pada bulan penuh kemuliaan itu. Ibadah sunat menjadi wajib, sementara ibadah wajib berlipat-lipat pahalanya. Dan seterusnya.

Sayangnya, usai Ramadhan kita kembali seperti biasa. Semangat Ramadhan telah hilang. Kita kembali bergelimang. Alih-alih, pada saat Ramadhan belum usai pun semangat itu mulai menghilang. Semangat beribadah entah kenapa hanya ada di awal bulan Ramadhan. Sementara pada pertengahan bahkan akhir Ramadhan kita sudah berkelana entah kemana.

Maka kemudian bagi manusia-manusia itu dikabarkanlah berita gembira bahwa ada malam kemuliaan yang bernilai seribu bulan, yakni (malam) Lailatul Qadar. Jika kita beribadah pada malam itu maka pahalanya akan luar biasa besarnya, supaya manusia kembali bersemangat untuk beribadah seperti pada awal bulan Ramadhan.

Tahukan bahwa dirahasiakannya malam Lailatul Qadar sesungguhnya adalah pukulan telak buat manusia. Sebenarnya kita sedang tersindir. Rahasia kapan datang malam Lailatul Qadar itu memberikan pelajaran bahwa ibadah mestinya tidak hanya dilakukan dalam satu malam saja.

Andailah manusia tak goyah dalam melakukan ibadah, rajin, dan istiqomah; Karena ibadah tak terbatas waktu, kapan saja, dan sepanjang masa. Tapi baiklah, Ramadhan dan Lailatul Qadar semoga menjadi awalan yang baik untuk beribadah. (A Khoirul Anam-red)


Sumber http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10339

http://blog.its.ac.id/syafii/2009/08/09/berburu-lailatul-qadar/